
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika mengatakan potensi minyak jelantah (used cooking oil/UCO) yang tengah dikembangkan secara global bisa dijadikan sebagai bahan bakar penerbangan yang berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF).
“Minyak jelantah ini merupakan raw material (bahan mentah) yang bernilai tambah, terutama untuk bahan bakar, untuk avtur pesawat terbang, di samping juga untuk biofuel,” katanya, dilansir dari laman resmi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat pada Jumat (22/9/2023).
Putu mengakui, saat ini pengolahan minyak jelantah di dalam negeri memang masih terus dikembangkan. Namun, dia memastikan pemerintah terus mendorong pemanfaatan dan pengolahan minyak jelantah menjadi bahan baku industri yang potensial.
Baca Juga: Berubah Signifikan, Apa Saja Dampak Hilirisasi Sawit Domestik di Indonesia?
“Sekarang green fuel di Indonesia baru dalam penjajakan untuk industri pesawat terbang,” katanya.
Kemenperin sendiri saat ini terus mendorong penggunaan Industrial Vegetable Oil (IVO) salah satunya yakni Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Di sisi lain, ada pula beberapa pemprosesan sedang didorong untuk menjadi green fuel atau bahan bakar yang sifatnya persis sama dengan Petroleoum tapi jauh lebih bagus, karena tidak ada kontaminan seperti sulfur atau logam berat lainnya.
Putu menyebut minyak jelantah sebagai bagian dari industri oleokimia memiliki potensi besar sebagai biomaterial untuk menggantikan minyak-minyak yang tidak terbarukan.
“Jadi misalnya Petroleoum itu jadi fuel dan jadi semua produk dari tekstil, plastik, dan lainnya. Nah, ke depan kita juga akan bisa gunakan minyak jelantah jadi biomaterial yang menggantikan minyak bumi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Putu mengemukakan, meski potensial untuk memenuhi kebutuhan pasar global yang tinggi, pasokan minyak jelantah masih menghadapi tantangan. Ia menyebut, recovery rate atau tingkat pengumpulan minyak jelantah masih rendah yakni hanya sekitar 8%. Padahal penggunaan minyak goreng di tingkat rumah tangga sangat tinggi.
Baca Juga: Top! Mahasiswa Jambi Olah Limbah Kelapa Sawit Jadi Briket, Manfaatnya Diakui Warga Desa
Putu berharap Sistem Informasi Minyak Jelantah (Simijel) akan dapat mendorong recovery rate sehingga pasokan minyak jelantah bisa diolah dengan lebih masif di dalam negeri.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Exportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI) Setiady Goenawan mengatakan Simijel yang dikembangkannya diharapkan bisa mendongkrak recovery rate dari saat ini 8% menjadi 20% pada akhir 2024 nanti.
“Ini fungsinya juga untuk meningkatkan daya tarik Indonesia untuk investasi SAF, yang bahan utamanya itu basically dari waste tapi yang paling utama mereka cari adalah used cooking oil. Makanya perlu ditingkatkan recovery rate minyak jelantah investasi SAF bisa lebih menarik,” katanya.
Minyak jelantah menjadi satu sumber utama bahan baku biofuel untuk industri green fuel. Minyak jelantah, khususnya yang memiliki ketertelusuran asal usul (point-of-origin traceability) pun menjadi standar baru penerimaan produk tersebut di pasar Eropa dan Amerika Serikat.
Baca Juga: Hoax 38: Minyak Sawit Tidak Mampu Feeding the World
Pasalnya, green fuel yang dihasilkan dari minyak jelantah yang tertelusur (well-traceable) mempunyai emisi net karbon sangat rendah yang berasal dari implementasi prinsip ekonomi sirkular yaitu from waste to energy.
Aspek ketertelusuran pun menjadi prasyarat karena pembeli membutuhkan jaminan asal usul minyak jelantah harus betul-betul berasal dari titik produksi minyak jelantah alih-alih dari campuran minyak segar atau minyak-minyak lain dan/atau berasal dari sumber minyak jelantah yang ilegal.
Penulis/Editor: Ellisa Agri Elfadina
Tag Terkait: